Kamis, 11 Juni 2009

Ikhlaskanlah, maka Allah SWT yang menggantinya.

Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun.

Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan.

Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji : Tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik. Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya : \"Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... \" Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa.Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas.

Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten... \"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?\" Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.\"Terimakasih..., Ibu\" Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya.

Menurutnya, kalung itu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau.

Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya \"Anisa..., Anisa, sayang nggak sama Ayah ?\" \"Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !\" \"Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...\" \"Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil \"si Ratu\" boneka kuda dari nenek... ! Itu kesayanganku juga\" \"Ya sudahlah sayang,... nggak apa-apa !\". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, \"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah >?\" \"Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah ?\". \"Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu.\" \"Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.. \" Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. Dari matanya,mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya... \"Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?\" Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangan-nya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya \" Kalau Ayah mau... ambillah kalung Anisa\" Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... sama cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa... \"Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau\" Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangan... Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang lebih baik.

--sanguinboy--

TANGGUNG JAWAB PERSONAL DAN KOLEKTIF UMAT ISLAM

Setiap manusia dikenai dua jenis tanggung jawab, yaitu tanggung jawab personal yang disebut dengan istilah fardhu ain, sedangkan tanggung jawab kolektif atau disebut sebagai fardhu kifayah.

Fardhu kifayah sendiri merupakan kewajiban sebagian umat Islam di suatu wilayah umat Islam untuk melakukan kewajiban tertentu yang diperintahkan Allah sebagai fardhu kifayah (misal amar makruf dalam bentuk melakukan adzan di suatu mesjid atau nahi munkar dalam bentuk memberantas kemaksiatan). Fardhu kifayah baru sah bila memenuhi syarat jumlah dan kekuatan yang memadai. Bila sudah ada umat Islam lainnya dengan jumlah dan kapasitas yang memadai melakukan kewajiban tersebut maka gugurlah kewajiban umat Islam lainnya. Sebaliknya bila belum ada atau belum cukup jumlah dan kapasitas umat Islam yang turun tangan melakukan fardhu kifayah tersebut maka berdosalah seluruh umat Islam yang tidak ikut turun tangan melakukan fardhu kifayah tersebut.

Tentunya juga akan salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayah.

Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).

"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84).

"Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Rasulullah saw. bersabda, "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."

Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan, yaitu "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).

Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT". "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1). Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, acuannya adalah syariat Islam.

Sesudah seseorang dalam scope individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Seseorang dalam scope individu mempunyai tanggungjawab personal pada Allah untuk menjadi berguna bagi lingkungannya. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab, dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).

Dan apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).


(Sumber tulisan : Ust. Farid Achmad Okbah, M.A., dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar oleh Habib M. Rizieq Syihab)

Untukmu Da'i Sejati

Jalan da’wah panjang terbentang jauh ke depan
Duri dan batu terjal selalu mengganjal, lurah dan bukit menghadang
Ujungnya bukan manusia, bukan pula di dunia
Tetapi Cahaya Maha Cahaya, Surga dan Ridho Allah
Cinta adalah sumbernya, hati dan jiwa adalah ruhnya
Pergilah ke hati-hati manusia, ajaklah ke jalan Rabbmu
Nikmati perjalanannya, berdiskusilah dengan bahasa bijaksana
Dan jika seseorang mendapat hidayah karenamu
Itu lebih dari dunia dan seisinya
Pergilah ke hati-hati manusia, ajaklah ke jalan Rabbmu

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah paham
Mengerti tentang Islam, Risalah Anbiya dan warisan ulama
Hendaknya engkau fanatis dengannya
Seperti Mughiroh bin Syu’bah di hadapan Rustum Panglima Kisra

Jika engku cinta, maka da’wah adalah ikhlas
Mengkhiasi hati, memotivasi jiwa untuk berkarya
Seperti kata Abul Anbiya
”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata bagi Rabb semesta”
Berikan hatimu untuk Dia, katakan ”Allah Ghaayatunaa”

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah amal
Membangun kejayaan umat kapan saja, dimana saja
Yang bernilai adalah kerja bukan semata ilmu apalagi lamunan
Sasarannya adalah perbaikan dan perubahan, al islah wat taghyir
Dari diri pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara
Bangun aktivitas secara tertib tuk mencapai kejayaan

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah jihad
Sungguh-sungguh di medan perjuangan melawan kebatilan
Tinggikan kalimat Allah, rendahkan ocehan syetan durjana
Kerja keras tak kenal lelah adalah rumusnya
Tinggalkan kemalasan, lamban, dan berpangku tangan

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah thaat
Kepada Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur’an dan As-Sunah
Serta orang-orang taqwa yang tertata
Thaat adalah wujud syukurmu kepada hidayah Allah
Karenanya nikmat kan bertambah melimpah penuh berkah

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah tadhiyah
Bukti kesetiaan dan kesiapan, memberi pantang menerima
Bersedialah banyak kehilangan dengan sedikit menerima
Karena yang di sisi Allah lebih mulia, sedang di sisimu fana belaka
Sedangkan tiap tetes keringat berpahala berlipat ganda

Jika engaku cinta, mak da’wah adalah tsabat
Hati dan jiwa yang tegar walau banyak rintangan
Buah dari sabar meniti jalan, teguh dalam barisan
Istiqomah dalam perjuangan dengan kaki tak tergoyahkan
Berjalan lempang jauh dari penyimpangan

Jika engakau cinta, maka da’wah adalah tajarrud
Ikhlas di setiap langkah menggapai satu tujuan
Padukan seluruh potensimu libatkan dalam jalan ini
Engkau da’i sebelum apapun adanya engkau
Da’wah tugas utamamu sedangkan lainnya hanyalah selingan

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah tsiqoh
Kepercayaan yang dilandasi iman suci penuh keyakinan
Kepada Allah, Rasul, Islam, qiyadah, dan junud-Nya
Hilangkan keraguan dan pastikan kejujuran
Karena inilah kafilah kebenaran yang penuh berkah

Jika engkau cinta, maka da’wah adalah ukhuwah
Lekatnya ikatan hati berjalin dalam nilai-nilai persaudaraan
Bersaudaralah dengan muslim sedunia, utamanya mukmin mujahidin
Lapang dada merupakan syarat terendahnya, itsar bentuk tertingginya
Dan Allah Yang Maha Mengetahui menghimpun hati para da’i dalam cinta
Berjumpa karena thaat kepada-Nya
Melebur satu dalam da’wah ke jalan Allah
Saling berjanji menolong syari’at-Nya

Rabu, 10 Juni 2009

Lakukanlah Apa yang Menurutmu Benar

Ini cerita tentang Lukman dan anaknya, yang mungkin sudah sering kita dengar. Kisah ini menarik bagi mereka yang selalu dilemma dalam mengambil keputusan, selalu bimbang dalam menentukan pilihan, atau selalu bingung dengan pertanggungjawaban ketika keputusan telah ditetapkan.

Lukman bukanlah seorang nabi, tapi Allah begitu memuliakannya, sehingga kisahnya, perkataannya, dan ajarannya banyak diabadikan dalam Alqur’an. Bahkan Allah swt memberinya gelar Al Hakim, yang artinya bijaksana. Lukman diabadikan dalam alquran sebagai manusia yang bijaksana dan penuh hikmah, yang bisa kita jadikan teladan bersama.

Suatu hari Lukman ingin mengajarkan sebuah hikmah pada anaknya, lalu ia mengajak anaknya ke pasar untuk menjual keledainya. Berangkatlah Lukman, anaknya, dan keledai itu. Lukman naik diatas keledai, sementara anaknya berjalan menuntun keledai. Ditengah jalan mereka berpapasan dengan sekelompok orang. Orang-orang itu mencibir Lukman, ”dasar orang tua mau enaknya sendiri, umur banyak tapi otak sedikit, lihat, ia enak-enakkan di atas keledai sedangkan anaknya ngos-ngosan berjalan di tengah padang pasir yang terik.”

Mendengar kritik pedas ini, Lukman turun, menyuruh anaknya menggantikan posisinya di atas keledai. Bapak dan anak ini lalu melanjutkan perjalanan. ”Anak tak tau diri, ia santai di atas keledai sementara orang tuanya berjalan kaki. Anak durhaka!” kata seorang yang sedang duduk di sebuah warung yang mereka lewati. Mereka berhenti sejenak, berfikir, akhirnya sepakat naik keledai bersama. Perjalanan berlanjut. ”Hahahahaha…dasar edan, tak punya pri-kebinatangan, tak punya rasa kasihan. Binatang begini kecil, begini ringkih, dinaikki dua orang yang sebesar gajah!? apa kata dunia?” cela seorang yang melihat mereka berdua diatas keledai.

Lalu mereka turun dari keledai. Anaknya mengusulkan bagaimana kalau keledai itu digotong saja. Lukman setuju. Diikatlah kaki keledai, yang depan dan belakang. Kemudian diantara kaki keledai itu mereka masukkan sebatang kayu untuk menggotong. Mereka berjalan lagi. Keledai itu sekarang terbalik posisinya, kaki diatas kepala dibawah, meronta-ronta dalam gotongan Lukman dan anaknya. Melihat hal ini, orang semakin pedas omongnya. ”Apa kalian memang benar-benar gila? Keledai hidup kok digotong seperti mati?”

Lalu mereka menurunkan keledai dan melepas ikatannya. Sekarang Lukman, anaknya, dan keledai berjalan bersama. Apa yang terjadi? Seorang yang mereka temui malah berkomentar, ”Dasar bapak dan anak sama bodoh dengan keledainya. Ada kendaraan kok gak dinaiki?”

Kisah mengenai Lukman di atas mungkin juga sering kita alami. Kita sering mengahadapi situasi yang serba salah. Maju kena mundur kena, begitu kira-kira. Dikantor misalnya, terlalu aktif mengundang kecemburuan rekan kerja, terlalu pasif menyebabkan respek atasan berkurang. Berbuat baik juga begitu. Terang-terangan dibilang pamer, sembunyi-sembunyi malah mengundang fitnah.

Elit-elit politik Islam saat ini juga mengalami kebimbangan-kebimbangan dalam menentukan pilihan. Memajukan calon sendiri dibilang nekat dan eksklusif, terlibat dalam koalisi dibilang terlalu ambisi pada kursi. Menghadapi partner koalisi yang sewenang-wenang juga bimbang. Berteriak dibilang emosional dan sekedar cari sensasi, diam dibilang tidak memiliki bargaining dan harga diri.

Sebenarnya kebimbangan-kebimbangan ini tidak perlu terjadi jika nasihat Lukman terhadap anaknya diteladani. Dari kisah di atas, Lukman mengajarkan hikmah pada anaknya mengenai bagaimana seharusnya mengambil keputusan dan bagaimana bersikap atas keputusan yang telah diambil. Kepada anaknya Lukman mengatakan ,“wahai anakku, sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang-orang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah SWT saja. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang harus menjadi pertimbangannya”.

Menjadikan Allah sebagai satu-satunya pertimbangan sesungguhnya membuat jiwa tenang dan jauh dari kebimbangan. Bukankan setiap keputusan kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Nya? Bukankan hanya Allah yang kuasa atas baik dan buruk, bahagia dan bencana, sulit dan mudah maupun tenang dan gelisah? Bukankan Allah sendiri telah memberikan Al kitab yang didalamnya tidak ada keraguan petunjuk bagi orang-orang yang beriman?

Sayid Qutb dalam bukunya “ma’alim fi thariq (petunjuk jalan)” mengatakan “tidak ada dilemma bagi mereka yang memiliki nilai dan prinsip yang jelas”. Saya sepakat dengan hal ini, bahwa hanya mereka yang tidak punya prinsip yang selalu bingung dan bimbang oleh berbagai pilihan dan hanya mereka yang tidak punya nilai yang selalu gelisah oleh berbagai tawaran. Dan Lukman telah mengajarkannya, bukan hanya untuk anaknya, melainkan juga untuk kita semua.

Semoga Allah menjauhkan kita dari segala kebimbangan.